Bagi saya ,
menjadi seorang guru merupakan panggilan yang sangat mulia. Apalagi di zaman
sekarang, guru bukan lagi sebuah profesi yang sederhana. Bahkan menjadi guru
merupakan sebuah profesi yang luar biasa, profesi yang tidak lagi dipandang
sebelah mata. Terutama dengan peta globalisasi yang memengaruhi ranah
pendidikan di Indonesia, menuntut mereka untuk tidak hanya sekedar menyampaikan
materi pelajaran, namun juga dituntut untuk cerdas menyikapi pola tingkah laku
murid dengan latar belakang kehidupannya.
Saya sangat
setuju guru perlu menambah kompetensinya, memperdalam ilmu demi kemajuan anak
didiknya. Tetapi selain itu guru secara psikologis harus mampu menempatkan diri
di tengah anak didik dengan karakternya masing-masing. Sekedar menengok kembali
beberapa kasus yang terjadi, guru bahkan sampai melecehkan muridnya, bahkan
berlaku tidak senonoh. Sampai pada tahap pemukulan terhadap anak didik.
Tercorengnya dunia pendidikan karena ulah oknum guru tersebut dapat membawa
dampak psikologis terhadap anak didik terhadap sosok guru.
Kalau kita melihat sejarah perkembangan pendidikan guru di zaman Penjajahan Belanda, pastilah ada pembedaan pola asuh, yang akan sedikit memengaruhi pembentukan karakter seorang guru tersebut. Ada semacam pandangan, bahwa guru yang dididik di zaman Belanda pastilah galak dan kolot. Mungkin ada benarnya, namun juga ada, salahnya. Benarnya terletak dimana? Galak dan kolot perlu dilihat dari kondisi saat itu yang mana, karakter guru yang galak tidak selalu jelek.
Begitupun dengan istilah kolot, sikap ini bagi guru di zamannya sangat diperlukan untuk membentuk pola pikir yang terarah dan menanamkan suatu prinsip yang kuat buat anak didik. Anggapan salah, bahwa tidak semua guru hasil didikan zaman kolonial pasti galak dan kolot, ada juga yang terbentuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
Bagaimana di zaman sekarang? Ada situasi dan kondisi yang memang harus fleksible. Beda antara anak didik zaman dulu dan sekarang, anak didik zaman sekarang ada kecenderungan kalau dimarahi gurunya pasti menunjukkan sikap yang tidak senang (marah, ngambek). Mungkin yang paling ekstrem ditunjukkan dengan tidak mau sekolah lagi. Yang paling berbahaya adalah kalau tidak menyukai gurunya, bisa dipastikan pelajarannya ikut tidak disukai. Dampak ini yang akan menurunkan produktifitas anak didik untuk mengikuti proses belajar mengajar di dalam kelas. Situasi seperti ini haruslah dihindari dan tidak terjadi di dalam dunia pendidikan.
Kalau kita melihat sejarah perkembangan pendidikan guru di zaman Penjajahan Belanda, pastilah ada pembedaan pola asuh, yang akan sedikit memengaruhi pembentukan karakter seorang guru tersebut. Ada semacam pandangan, bahwa guru yang dididik di zaman Belanda pastilah galak dan kolot. Mungkin ada benarnya, namun juga ada, salahnya. Benarnya terletak dimana? Galak dan kolot perlu dilihat dari kondisi saat itu yang mana, karakter guru yang galak tidak selalu jelek.
Begitupun dengan istilah kolot, sikap ini bagi guru di zamannya sangat diperlukan untuk membentuk pola pikir yang terarah dan menanamkan suatu prinsip yang kuat buat anak didik. Anggapan salah, bahwa tidak semua guru hasil didikan zaman kolonial pasti galak dan kolot, ada juga yang terbentuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
Bagaimana di zaman sekarang? Ada situasi dan kondisi yang memang harus fleksible. Beda antara anak didik zaman dulu dan sekarang, anak didik zaman sekarang ada kecenderungan kalau dimarahi gurunya pasti menunjukkan sikap yang tidak senang (marah, ngambek). Mungkin yang paling ekstrem ditunjukkan dengan tidak mau sekolah lagi. Yang paling berbahaya adalah kalau tidak menyukai gurunya, bisa dipastikan pelajarannya ikut tidak disukai. Dampak ini yang akan menurunkan produktifitas anak didik untuk mengikuti proses belajar mengajar di dalam kelas. Situasi seperti ini haruslah dihindari dan tidak terjadi di dalam dunia pendidikan.
Pola pendekatan personal, Pendekatan
personal ini, setidaknya memberi ruang terbuka terjadinya relasi yang kuat. Mengapa?
Sebuah pengalaman memberi hnspirasi bahwa, pola ini secara konkret dapat
dilakukan oleh guru di luar kelas. Bahkan di luar jam sekolah, misalnya di saat
ekskul dan mungkin mendampingi anak didik rekreasi kelas.
Pengalaman ini pernah saya lakukan sewaktu mengajar . Dan di waktu tertentu, kami pergi bersama ke pantai dan hutan. Bukan hanya sekedar rekreasi tanpa makna, namun melalui rekreasi ini bisa menjadi sarana untuk melakukan proses pengenalan terhadap anak didik. Entah itu latar belakang kehidupannya, karakternya, harapan-harapannya, pola pikirnya dsb. Selain itu guru dapat menempatkan diri sebagai teman.
Teman dalam hal ini dipahami dalam konteks PACING. Artinya bertemu dengan orang lain di dunia mereka, mengidentifikasikan dan menyelaraskan dengan orang lain. Manfaat dari pacing salah satunya adalah mampu memahami kemauan, keinginan dan tujuan anak didik. Dalam konteks umum teman dapat dipahami tidak berjarak atau sejajar. Sehingga membuat anak didik tidak segan dan canggung mengutarakan isi hatinya.
Pengalaman ini pernah saya lakukan sewaktu mengajar . Dan di waktu tertentu, kami pergi bersama ke pantai dan hutan. Bukan hanya sekedar rekreasi tanpa makna, namun melalui rekreasi ini bisa menjadi sarana untuk melakukan proses pengenalan terhadap anak didik. Entah itu latar belakang kehidupannya, karakternya, harapan-harapannya, pola pikirnya dsb. Selain itu guru dapat menempatkan diri sebagai teman.
Teman dalam hal ini dipahami dalam konteks PACING. Artinya bertemu dengan orang lain di dunia mereka, mengidentifikasikan dan menyelaraskan dengan orang lain. Manfaat dari pacing salah satunya adalah mampu memahami kemauan, keinginan dan tujuan anak didik. Dalam konteks umum teman dapat dipahami tidak berjarak atau sejajar. Sehingga membuat anak didik tidak segan dan canggung mengutarakan isi hatinya.
Sebagai teman
dalam konteks PACING guru setidaknya memunyai kemampuan mendengarkan dan
berbicara. Terutama bagi anak didik yang sedang bermasalah. Dalam situasi dan
kondisi apapun guru menjadi pondasi pembentukan pribadi anak didik.
Oleh karenanya teladan guru dimata anak didik harus diwujudkan ditengah proses pendidikan yang sedang berlangsung. Baik itu di dalam kelas ataupun di luar kelas.
Dalam konteks disenangi, pemahaman ini memang luas penafsirannya. Bukan berarti, apabila guru ingin disenangi anak didiknya kemudian memberikan berbagai macam kemudahan.
Tentunya yang
bersifat tidak mendidik. Ada memang penafsiran anak didik yang menyenangi
gurunya dikarenakan, guru tersebut tidak pernah marah. Suka bercanda,
menghibur, menyenangkan, dsbnya. Itu hanya sebagian kecil saja dari proses
pendidikan. Jangan salah sayapun pernah marah sewaktu di kelas. Saya marah
karena ada satu anak yang ribut tidak mendengarkan atau bicara sendiri. Guru
yang berharap disenangi murid tidak serta merta meninggalkan prinsip
mendidiknya. Kalau memang harus marah, dalam hal ini dipahami sebagai sebuah
ketegasan. Dan ada unsur mendidiknya. Tidak hanya marah karena luapan emosi
yang tidak terkendali. Kemudian dimana letak unsur mendidiknya?
Biasanya selepas kelas selesai atau waktu istirahat, saya dekati anak itu. Sekedar mengajak ngobrol dan berbincang, saya mulai menyinggung kenapa tadi membuat ribut. Sudah menjadi kebiasaan, bahwa diluar kelas hubungan terbangun kembali sebagai teman. Wajah anak didikpun tidak menampakkan dendam atau kemarahan. Ini bisa terjadi dikarenakan sejak awal sudah terbina BUILDING RAPPORT (membangun keakraban). Pola ini dapat disebut sebagai bagian dari pendidikan yang membentuk karakter untuk saling menghargai dan menghormati walaupun mempunyai perbedaan pandangan. ”Disenangi” hanya Sebuah Sarana Disaat percakapan sedang berlangsung, disitulah fungsi PACING. Menyelaraskan, mendengarkan dan mencoba memahami penjelasan dari anak didik.
Dan kemudian guru bisa melakukan LEADING atau mengarahkan. Membawa anak didik untuk berpikir mengenai dampak suasana gaduh karena perbuatannya tadi. Sehingga anak didik juga merasa dihargai, diperhatikan dan diajak untuk mengolah setiap permasalahan yang terjadi. Dalam pendidikan kolese, LEADING dipahami mengarahkan anak didik supaya dapat memilih jalan hidup serta perbuatan sendiri, tanpa sebelumnya atau sesudahnya menutup rapat-rapat kemungkinan pemilihan lain .
Misi dari sebuah pendidikan yang utama sebenarnya adalah membentuk manusia berkarakter yang sadar akan kebebasannya sebagai asasi yang paling tinggi. Kebebasannya ini yang nantinya menjadi sebuah pertanggungjawaban sebagai proses menemukan nilai-nilai dari sebuah misi yang harus diperjuangkan. Bukan kebebasan dalam arti yang tidak disadari. Dan bebas dalam arti ada perbuatan lain yang harus diperjuangkan.Tetapi kebebasan yang kemungkinan mengarah pada perbaikan (manusia), entah itu disebut modernisasi dan pembangunan.
Menjadi guru yang disenangi murid sebenarnya merupakan sebuah sarana untuk mencapai kebebasan yang dihayati. Baik itu oleh guru/pendidik terlebih dahulu, karena penyampaian nilai kemanusiaan bukan sekedar indoktrinasi melainkan sebuah proses terus menerus diantara pribadi satu dengan yang lain. Sehingga anak didik berani untuk hidup ditengah masyarakat serta memperjuangkan nilai sebuah kehidupan. Sebuah keberanian untuk menentukan sikap dan bebas untuk berbuat sesuatu bagi bangsa dan negara. Disitulah peran guru yang mengikhlaskan diri untuk membangun misi pendidikan menjadi misi pribadi guna membentuk anak didik masuk dalam pergumulan dunia. Tentunya bagi perkembangan sebuah bangsa yang bermartabat
Biasanya selepas kelas selesai atau waktu istirahat, saya dekati anak itu. Sekedar mengajak ngobrol dan berbincang, saya mulai menyinggung kenapa tadi membuat ribut. Sudah menjadi kebiasaan, bahwa diluar kelas hubungan terbangun kembali sebagai teman. Wajah anak didikpun tidak menampakkan dendam atau kemarahan. Ini bisa terjadi dikarenakan sejak awal sudah terbina BUILDING RAPPORT (membangun keakraban). Pola ini dapat disebut sebagai bagian dari pendidikan yang membentuk karakter untuk saling menghargai dan menghormati walaupun mempunyai perbedaan pandangan. ”Disenangi” hanya Sebuah Sarana Disaat percakapan sedang berlangsung, disitulah fungsi PACING. Menyelaraskan, mendengarkan dan mencoba memahami penjelasan dari anak didik.
Dan kemudian guru bisa melakukan LEADING atau mengarahkan. Membawa anak didik untuk berpikir mengenai dampak suasana gaduh karena perbuatannya tadi. Sehingga anak didik juga merasa dihargai, diperhatikan dan diajak untuk mengolah setiap permasalahan yang terjadi. Dalam pendidikan kolese, LEADING dipahami mengarahkan anak didik supaya dapat memilih jalan hidup serta perbuatan sendiri, tanpa sebelumnya atau sesudahnya menutup rapat-rapat kemungkinan pemilihan lain .
Misi dari sebuah pendidikan yang utama sebenarnya adalah membentuk manusia berkarakter yang sadar akan kebebasannya sebagai asasi yang paling tinggi. Kebebasannya ini yang nantinya menjadi sebuah pertanggungjawaban sebagai proses menemukan nilai-nilai dari sebuah misi yang harus diperjuangkan. Bukan kebebasan dalam arti yang tidak disadari. Dan bebas dalam arti ada perbuatan lain yang harus diperjuangkan.Tetapi kebebasan yang kemungkinan mengarah pada perbaikan (manusia), entah itu disebut modernisasi dan pembangunan.
Menjadi guru yang disenangi murid sebenarnya merupakan sebuah sarana untuk mencapai kebebasan yang dihayati. Baik itu oleh guru/pendidik terlebih dahulu, karena penyampaian nilai kemanusiaan bukan sekedar indoktrinasi melainkan sebuah proses terus menerus diantara pribadi satu dengan yang lain. Sehingga anak didik berani untuk hidup ditengah masyarakat serta memperjuangkan nilai sebuah kehidupan. Sebuah keberanian untuk menentukan sikap dan bebas untuk berbuat sesuatu bagi bangsa dan negara. Disitulah peran guru yang mengikhlaskan diri untuk membangun misi pendidikan menjadi misi pribadi guna membentuk anak didik masuk dalam pergumulan dunia. Tentunya bagi perkembangan sebuah bangsa yang bermartabat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar